Oleh: Yosef Maniani *)
Penegakan hukum terhadap Organisasi Papua Merdeka (OPM) adalah manifestasi nyata dari komitmen pemerintah dalam menjaga kedaulatan NKRI dan menjamin keamanan bagi seluruh rakyat, khususnya di Tanah Papua. Tindakan tegas yang diambil oleh aparat keamanan, bukan semata respons insidentil, melainkan bagian dari strategi komprehensif untuk menciptakan stabilitas dan memfasilitasi pembangunan yang berkelanjutan di wilayah tersebut. Operasi yang dilakukan Satuan Tugas Gabungan, seperti yang baru-baru ini terjadi di Kabupaten Puncak, Papua, adalah bukti konkret dari keseriusan ini.
Dalam operasi tersebut, dua orang yang diidentifikasi sebagai anggota aktif OPM, Lison Murib alias Limar Elas dan Alena Murib alias Alerid Murib, berhasil dilumpuhkan. Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayor Jenderal TNI Kristomei Sianturi, menegaskan bahwa identitas kedua anggota OPM ini bahkan telah dikonfirmasi oleh juru bicara TPNPB-OPM, Sebby Sambom. Lison Murib sendiri merupakan buronan yang telah lama masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) Polri sejak April 2020, terkait dugaan keterlibatannya dalam penembakan warga sipil di Kuala Kencana, Mimika. Keberadaan Lison Murib yang kemudian muncul kembali di Kabupaten Puncak sebagai Danyon Kunga pada tahun 2021, menunjukkan pola pergerakan kelompok bersenjata ini yang perlu dihentikan demi keamanan masyarakat.
Dari lokasi operasi, ditemukan beragam barang bukti yang menguatkan indikasi aktivitas separatis. Di Kampung Kunga, misalnya, aparat mengamankan uang tunai, senjata tajam, alat komunikasi, dan amunisi. Sementara itu, di Kampung Gunalu, ditemukan puluhan juta rupiah, magazen, amunisi, serta bendera Bintang Kejora dan cap stempel TPNPB. Temuan uang tunai dan dokumen-dokumen yang meminta dana, sebagaimana dijelaskan oleh Mayor Jenderal TNI Kristomei Sianturi, mengindikasikan adanya aliran dana ilegal yang digunakan untuk mendukung operasi kelompok separatis, baik melalui pemerasan terhadap aparat pemerintah maupun perampasan dari masyarakat. Hal ini memperjelas modus operandi OPM yang tidak hanya mengancam keamanan fisik, tetapi juga meresahkan stabilitas ekonomi dan sosial masyarakat Papua.
Peningkatan serangan yang dilancarkan oleh OPM terhadap warga sipil dalam sepekan terakhir semakin memperkuat urgensi penegakan hukum. Kepala Operasi Satgas Damai Cartenz, Brigjen Pol Faizal Rahmadani, dengan tegas menyatakan bahwa kematian korban sipil adalah luka bagi seluruh bangsa dan keadilan akan terus dikejar hingga tuntas. Ia menyoroti beberapa insiden tragis, seperti serangan senjata tajam terhadap tukang ojek Aris Munandar di Waghete II, yang menyebabkan korban mengalami luka parah dan kasus pembunuhan Andi Hasan di Dekai, Kabupaten Yahukimo yang merupakan warga lokal.
Sementara itu, Andi Hasan adalah warga sipil murni dan bukan agen militer keamanan, seperti yang diklaim oleh kelompok OPM. Pernyataan ini jelas merupakan kebohongan publik yang bertujuan untuk memutarbalikkan fakta dan mengaburkan tindakan keji OPM.
Komitmen Satgas Damai Cartenz untuk menindak tegas pelaku kekerasan juga ditunjukkan dengan keberhasilan penangkapan sejumlah anggota OPM. Roberth Wenda alias Kriminal Hesegem, yang sebelumnya menembak Bripka Marsidon Debataraja di Wamena, berhasil ditangkap di Kampung Senarekoa Maplima, Distrik Wouma. Bripka Marsidon sendiri merupakan anggota Satuan Lalu Lintas Polres Jayawijaya yang ditembak saat mengantar korban kecelakaan lalu lintas. Roberth Wenda juga diketahui sebagai DPO Lapas Narkotika Kelas IIA Doyo yang kabur sejak Agustus 2024. Dari penangkapan ini, diamankan enam butir amunisi kaliber 7,62 milimeter.
Selain itu, Satgas Damai Cartenz juga menangkap Wanggol Sobolim, anggota OPM Yahukimo yang terlibat dalam dua serangan yang menyebabkan dua warga sipil, Agustinus Lambi dan La Jahari, meninggal di Dekai pada Januari dan Mei lalu. Wanggol bahkan mengaku bergabung dengan kelompok Batalyon Sisibia sejak tahun 2022 dan terlibat dalam aksi-aksi kekerasan.
Penting untuk dipahami bahwa setiap tindakan aparat keamanan dalam operasi di Papua dilakukan secara profesional, terukur, dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Profesionalisme menjadi landasan utama agar penegakan hukum berjalan efektif dan akuntabel, tanpa menimbulkan dampak negatif yang tidak perlu bagi masyarakat sipil.
Di samping pendekatan penindakan hukum, pemerintah secara konsisten mengedepankan pendekatan teritorial yang humanis dan dialogis. Strategi ini merupakan bagian dari upaya jangka panjang untuk membangun stabilitas keamanan nasional, khususnya di Papua. Pemerintah memahami bahwa penegakan hukum saja tidak cukup; diperlukan juga upaya-upaya persuasif dan pembangunan kepercayaan dengan masyarakat setempat. Oleh karena itu, tawaran untuk kembali ke pangkuan NKRI senantiasa terbuka bagi anggota OPM yang menyadari kekeliruannya. Harapan ini bukan sekadar retorika, melainkan undangan tulus untuk bersama-sama membangun Papua yang lebih damai dan sejahtera.
Pemerintah berkomitmen penuh untuk menghadirkan keadilan dan keamanan di Papua. Penegakan hukum terhadap OPM adalah langkah krusitif untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan. Dengan menghilangkan ancaman dari kelompok separatis, pemerintah dapat lebih fokus pada program-program pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hanya dengan demikian, cita-cita Papua yang maju, damai, dan sejahtera dapat terwujud seutuhnya, demi masa depan masyarakat Papua yang lebih baik dan terintegrasi penuh dalam bingkai NKRI.
*) Pengamat Isu Keamanan Papua