Oleh: Esther Kurnia )*
Dalam dinamika pembangunan nasional, penurunan angka kemiskinan menjadi indikator penting atas efektivitas kebijakan pemerintah. Maka ketika Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data per Maret 2025 yang mencatat penurunan persentase penduduk miskin secara nasional menjadi 8,47 persen, ini bukan sekadar angka, tetapi sebuah sinyal kuat bahwa upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan mulai menunjukkan hasil nyata.
Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg), Prasetyo Hadi, menyambut capaian ini sebagai kabar yang menggembirakan. Ia menekankan bahwa penurunan 0,10 persen dibandingkan September 2024, dan 0,56 persen dibandingkan Maret 2024, tidak dapat dilepaskan dari kolaborasi semua pihak. Ini bukan semata hasil kerja pemerintah pusat, melainkan buah dari sinergi antara pemerintah daerah, pelaku usaha, serta partisipasi aktif masyarakat. Menurutnya, pengentasan kemiskinan dilakukan secara terintegrasi, dengan fokus utama pada penciptaan lapangan kerja baru dan penguatan ekonomi masyarakat melalui sejumlah program strategis.
Pemerintah memang telah mengarahkan kebijakannya pada strategi pembangunan yang bersifat inklusif. Di antaranya dengan mendorong peningkatan investasi padat karya, pembangunan infrastruktur dasar di wilayah tertinggal, serta pengembangan sektor-sektor produktif yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Di samping itu, penguatan program jaminan sosial dan subsidi tepat sasaran turut memainkan peran penting dalam menjaga daya beli masyarakat miskin.
Upaya ini semakin terasa dampaknya ketika ditarik dalam konteks daerah. Di Jawa Tengah, misalnya, Pelaksana Tugas Kepala BPS Jawa Tengah, Endang Tri Wahyuningsih, mencatat penurunan tingkat kemiskinan di wilayahnya menjadi 9,48 persen pada Maret 2025, turun dari 9,58 persen pada September 2024. Penurunan ini tidak hanya menjadi angka statistik yang menggembirakan, tetapi juga mencerminkan keberhasilan nyata dari langkah-langkah strategis pemerintah daerah yang didukung penuh oleh pemerintah pusat.
Endang menyebutkan, salah satu kunci keberhasilan Jawa Tengah adalah peningkatan investasi melalui pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Batang dan Kawasan Industri Kendal. Kawasan ini menjadi lokomotif baru pertumbuhan ekonomi di Jawa Tengah karena mampu menciptakan banyak lapangan kerja, terutama bagi masyarakat lokal. Selain itu, pertumbuhan sektor industri di kawasan tersebut juga mendorong peningkatan kegiatan ekspor-impor yang pada akhirnya memperkuat basis ekonomi daerah.
Model seperti yang diterapkan di Jawa Tengah juga dapat ditemukan di Jawa Timur. Gubernur Khofifah Indar Parawansa mencatat sebanyak 17.940 warga di provinsinya berhasil keluar dari kemiskinan dalam setahun terakhir. Penurunan sebesar 0,29 persen (year-on-year) ini, menurutnya, adalah hasil nyata dari kerja keras dan sinergi seluruh pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Ia menegaskan bahwa angka tersebut bukan hanya statistik, melainkan refleksi dari tercapainya keadilan sosial yang merata di seluruh penjuru Jawa Timur.
Salah satu aspek penting dari strategi pengentasan kemiskinan di Jawa Timur adalah kuatnya dukungan anggaran, baik dari APBN maupun APBD. Pada 2025, alokasi bantuan sosial dari pemerintah pusat untuk Jatim mencapai Rp12,135 triliun, menjangkau lebih dari 3,3 juta keluarga penerima manfaat. Pemerintah provinsi juga menganggarkan Rp180,42 miliar dari APBD sebagai bentuk komitmen terhadap pengentasan kemiskinan. Hasilnya tidak hanya dirasakan dalam kehidupan masyarakat, tetapi juga mendapat pengakuan pemerintah pusat, yang memberikan Dana Insentif Fiskal sebesar Rp6,21 miliar pada 2023 dan Rp6,24 miliar pada 2024 atas keberhasilan menurunkan kemiskinan ekstrem.
Capaian di berbagai daerah menunjukkan bahwa program-program strategis pemerintah yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat dan penguatan sektor ekonomi lokal memang bekerja secara efektif. Pemerintah tidak hanya fokus pada distribusi bansos sebagai solusi jangka pendek, tetapi juga mengembangkan program-program produktif yang mendorong kemandirian ekonomi. Sebut saja pelatihan vokasi, pengembangan UMKM, dukungan terhadap petani dan nelayan, serta digitalisasi ekonomi desa. Semua program tersebut dirancang untuk menciptakan transformasi ekonomi yang berkelanjutan di tingkat akar rumput.
Di sisi lain, pelibatan masyarakat sipil dalam proses perencanaan dan pelaksanaan program juga menjadi kunci keberhasilan. Pemerintah memberikan ruang partisipasi bagi komunitas lokal untuk ikut mengawasi dan mengevaluasi program penanggulangan kemiskinan. Ini menciptakan transparansi dan akuntabilitas yang semakin memperkuat kepercayaan publik terhadap program pemerintah.
Namun, tantangan ke depan tentu tidak ringan. Dinamika ekonomi global, dampak perubahan iklim, hingga tekanan terhadap ketahanan pangan bisa memengaruhi keberlangsungan pencapaian ini. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk terus mengadaptasi kebijakan berdasarkan data dan masukan dari berbagai pihak. Pendekatan berbasis bukti (evidence-based policy) harus menjadi pedoman dalam merumuskan strategi lanjutan agar program-program yang ada tetap relevan dan tepat sasaran.
Momen penurunan angka kemiskinan ini adalah tonggak penting yang patut diapresiasi. Namun, perjuangan belum selesai. Seluruh elemen bangsa perlu terus mendukung berbagai program dan strategi pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Baik melalui partisipasi aktif, pengawasan sosial, maupun penguatan inisiatif lokal yang sejalan dengan visi pembangunan nasional.
Kemiskinan bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga persoalan keadilan sosial. Maka dari itu, mari kita jadikan setiap keberhasilan sebagai batu loncatan untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sejahtera, adil, dan berdaya saing tinggi. Pemerintah telah mengambil langkah strategis; kini saatnya kita bersama-sama melangkah lebih jauh.
)* Pengamat Ekonomi Kerakyatan